Buku dan Kota yang Berubah

Banyak yang bilang Jogja adalah “surga buku”. Asumsi yang nyaris menjadi mitos ini dipatahkan dengan lugas dan penuh rasa humor justru oleh pelaku dunia bukuJogja sendiri.

Dengan cara yang tanpa basa-basi, buku “Declare: Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-1997)” menjelaskan bahwa tak ada “surgabuku” di Jogja, seperti halnya tak ada “neraka buku” di Jogja. Jumlah ceritaindah dunia buku Jogja sama banyaknya dengan cerita sengak yang tak menyenangkan didengar. Dunia buku Jogja memang benar-benar “dunia” dalam pengertiannya yang denotatif: ada tokoh pahlawan dan penjahat, ada kisah keberhasilan dan kegagalan, ada idealisme dan hedonisme.

Seperti karakter-karakter dalam epos Mahabharata, kategori-kategori itu tak bisa dihamparkan secara oposisi biner karena semuanya bisa bercampur baur sedemikian rupa pada satu pribadi atau penerbit atau komunitas.

Toh dengan cara baca seperti itu pun dunia buku Jogja tetaplah “menarik”, jika kata “istimewa” mungkin dianggap terlalu hiperbolis. Betapa tidak, barangkali hanya di Jogja saja ikhtiar menerbitkan buku atau membuat penerbitan pernah diperlakukan begitu simpelnya. Sampai-sampai ada joke macam begini: “Jika tiga orang anak muda sedang ngobrol di angkringan, itu sudah cukup untuk dicurigai sebagai rapat pendirian sebuah penerbitan.”

Itulah yang terjadi pada tahun-tahun pertama selepas reformasi pada 1998. Penerbit-penerbit bermunculan seperti jerawat di wajah yang berminyak. Itu disebabkan, tulis Adhe di bukunya ini, “menjadi penerbit buku bukan hal yang rumit dan prosedural.” (hal. 47)

Mereka bergerak lebih untuk menyalurkan idealisme. Cukup dengan sejumlah orang yang saling kenal dan percaya dan sama-sama satu ide(ologi), satu penerbit bisa lahir begitu saja. Mereka yakin dengan isi kepalanya sendiri dan cenderung yakin-yakin saja bahwa apa yang ada di kepala mereka juga segaris dengan isi kepala para pembaca yang kelak menjadi konsumen buku-buku yang akan mereka terbitkan.

Dari orang-orang idealis dan keras kepala macam inilah dunia buku di Indonesia disuguhi buku-buku yang dulunya tak pernah dibayangkan akan diterbitkan penerbit-penerbit tuwek nan mapan: Nietzsche, Freud, Socrates, Plato, Machiavelli, dll. Dari mereka pula lahir “satu jenis seni rupa”: seni rupa cover buku.

Dalam periode waktu tertentu, mereka menikmati gegar buku di Indonesia. Bukan hal aneh jika seorang “bos” penerbitan kecil, yang tadinya mahasiswa kumal bersandal jepit, mendadak bisa sliweran di jalanan dengan mengendarai mobil (yang dicicil).

Dengan proses persalinan yang “tidak prosedural” macam itu, mestikah diherankan jika kemudian mereka kelabakan jika harga kertas meroket, retur buku yang bisa sama banyaknya dengan jumlah yang dicetak, distribusi macet, toko buku yang ngemplang bayar, sementara gaji karyawan, honor penerjemah dan royalti penulis mesti dibayar (jangan heran jika bos-bos penerbit Jogja kadang sukar dihubungi karena mereka bisa punya nomo HP sebanyak mereka punya jari dan bisa berganti nomor HP lebih cepat tinimbang siklus menstruasi). Belum lagi kritik–yang nyaris menjadi stereotip– ihwal kualitas terjemahan, kualitas cetakan, copy right, dan lain-lain.

Kendati sesekali terdengar kabar ada aktivis perbukuan Jogja dilanda “stres” atau “drop out” dari dunia buku sebagian terbesar tetap saja bergelut di dunia buku. Kadang dengan mengganti nama penerbit, bikin penerbitan baru, atau menggeser sedikit lahan usahanya, seperti yang tadinya menerbitkan lantas hanya mencetak saja, dan segudang cara lain.

Kendala distribusi, misalnya, mereka tembus dengan cara perkongsian yang membangun jalur distribusi sendiri. Ini pun tak mulus. Beberapa perkongsian penerbit Jogja yang membangun jalur distribusi sendiri itu mentok. Tapi, toh mereka tak kapok. Perkongsian baru dibangun. Cara-cara baru dieksplorasi: mulai dari layanan antar-jual, menggarap pameran, dan sebagainya. Dari sinilah, sejumlah pelaku perbukuan Jogja bersalin rupa menjadi EO pameran buku (lihat bagian ketiga buku ini).

Tema-tema buku yang diterbitkan pun mulai beragam. Pada perkembangan ini, penerbit buku di Jogja mulai merambah tema-tema populer yang kerap kali dianggap kurang intelek: seks, chicklit, teenlit, atau isu-isu lain yang dianggap sensasional.

Perkembangan dunia buku Jogja itu menjadi tanda bahwa evolusi dunia buku di Jogja sedang berlangsung. Dari yang mulanya berciri idealis yang kadang prek-ketek dengan kalkulasi bisnis menjadi lebih moderat terhadap dalil-dalil pasar. Beberapa tahun ke depan, kita baru bisa menilai seberapa berhasil dan seberapa cemerlang proses evolusi dunia perbukuan di Jogja ini.

Buku ini cukup istimewa mengingat tidak banyak buku yang mencoba melaporkan satu faset sejarah dunia perbukuan di sebuah kota. Kelangkaan itu bisa dimengerti karena tak banyak kota di Indonesia yang dipenuhi oleh orang-orang yang tidak hanya menggilai buku tetapi juga bersemangat untuk memproduksi buku.

Penulis buku ini bukan hanya melaporkan dari jarak yang begitu dekat denyut perbukuan di Jogja, tetapi meletakkan geliat perbukuan itu ke dalam konteks kehidupan Jogja itu sendiri yang terus/sedang berubah. Hipotesis Adhe yang menengarai bahwa geliat perbukuan itu –salah satunya– dipicu oleh pola relasi sosial yang komunal, sedikit banyak juga bisa menjelaskan kultur Jogja yang cenderung komunal. (Mestikah diherankan jika buku ini pun diterbitkan oleh Komunitas Penerbit Jogja; label yang beraura komunal, bukan?).

Dengan cara itu pula, perubahan tema buku-buku yang diterbitkan di Jogja, dari yang awalnya ndakik-ndakik menjadi lebih moderat dengan selera pasar dengan menerbitkan buku-buku bertema seks, kehidupan gaul anak muda, chicklit atau teenlit serta tema-tema yang bernuansa sensasional, juga sedikit banyak bisa menjelaskan perubahan sosial yang sedang berlangsung di Jogja. Keragaman tema buku yang diproduksi itu berbanding lurus dengan mulai menjamurnya kafe, diskotek dan mall-mall baru di kota gudeg itu.

Dalam kasus dunia perbukuan di Jogja, buku tak hanya menjadi jendela dunia, tetapi juga menjadi cermin perubahan yang sedang berlangsung di sebuah kota (Jogja). Adhe, sang penulis yang pernah lama mengelola sebuah penerbit di Jogja, menjelentrehkannya dengan cara humor: berani menertawakan diri sendiri tanpa kehilangan kebanggaan atas apa yang sering diklaim sebagai idealisme” (yang pernah) mereka praktikkan dalam dunia penerbitan.

Inilah buku tentang sebuah kota buku.

————————
:: Baca catatan-catatan saya yang lainnya di kuburan pejalanjauh

Explore posts in the same categories: penerbitan

One Comment on “Buku dan Kota yang Berubah”

  1. continuumrock Says:

    Anjinglah pokona mah! Buku aing di-review bagus pisan ku ente. Nuhun euy.
    Sebenarnya saya sering membuka blog kamu teh, tapi pura-pura gak tahu aja. Ambeh sia teu bungah hahaha… Ternyata kamu suka Sigur Ros kitu? Hmmm coba dengarkan pula Royksopp dan Test Department. Pastilah bakal sedap apalagi jika sambil “giting” alias get high a.k.a mabok heuheueheu… Moncrot siah!


Leave a comment